USAHA MANDIRI DI TENGAH GEMPURAN KAPITALIS

TEGAKNYA USAHA MANDIRI DI TENGAH GEMPURAN KAPITALIS

(refleksi terhadap salah seorang pedagang cilok urat di kecamatan Banjar Sari, Ciamis)

Oleh: Ahmad Mubarok

Sistem kapitalis yang sedang berkembang biak di Negara Indonesia membawa dampak yang menyengsarakan rakyat kecil. System kapitalis memberikan ruang sebesar-besarnya bagi para pemodal untuk mengembangkan kekayaannya dengan bebas. Kesempatan usaha yang di berikan kepada para pemodal mengakibatkan para pemodal membutuhkan tenaga pekerja untuk menjalankan system usahanya. Para pemodal yang membutuhkan para pekerja, sesungguhnya hanya mencari budak-budak yang mau di bayar murah dan memberikan keuntungan tinggi. Perhitungan yang di gunakan para pemodal, biasanya hanya memberikan secuil penghasilan dari usaha yang di jalankannya, da sebagian besar keuntungan untuk diri sendiri. Oleh karena itu, sesungguhnya system kapitalis tidak pernah menganggkat derajat orang-orang miskin, System kapitalis tidak pernah berniat meringankan beban orang-orang miskin seperti apa yang telah mereka tawarkan. tetapi System kapitalis hanya ingin memperkaya diri sendiri dengan menggunakan jasa para pekerja yang mau di kuras tenaganya setiap waktu dengan upah murah.

Salah seorang warga Kecamatan Banjar Sari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat yang bernama Ismail memberikan contoh tinddakan konkrit kepada para pemuda Indonesia dalam menghadapi keserakahan para pemodal kapitalis. Ia setiap hari bekerja sebagai penjual “cilok urat” di sekolah-sekolah setempat dan berkeliling di desa-desa setempat. Jualan cilok urat ini ia lakukan dengan modal sendiri, usaha sendiri, dan dengan tetesan keringat sendiri. Setiap hari sejak pukul 05.00 WIB ia harus belanja ke pasar untuk membeli perlengkapan dagang. Kemudian ia mengolah bahan menjadi cilok urat selama satu jam dari pukul 06.00 sampai 07.00 WIB. Kemudia ia berangkat berjualan sekitar jam 08.00 di sekolah-sekolah terdekat. Ia berjualan cilok menggunakan grobak yang di dorong dari belakang menggunakan kayuhan sepeda ontel. Kayuhan sepeda ontel itu meringankan beban dan dapat menghemat energy di bandingkan harus dengan berjalan kaki terus menerus.

Usaha jualan cilok urat telah ia lakukan sejak setengah tahun yang lalu. Sebelum berjualan cilok urat, ia pernah berkali-kali mencoba berbagai jenis lapangan usaha pekerjaan. Pertama kali, ia pernah bekerja menjadi pedagang cilok biasa di daerah Ibu Kota Jakarta. Namun hasil jualan di Ibu Kota Jakarta tidak memberikan hasil yang cukup untuk membeli keperluan sehari-hari. Kemudian ia di ajak oleh salah seorang saudara jauhnya untuk berjualan ikan lele di Tanggerang. Selama dua tahun ia membantu jualan ikan lele bersama saudara jauhnya itu, namun dari pengalaman bekerja kepada seorang majikan inilah yang menjadikan dirinya bertekad untuk tidak pernah bekerja kepada orag lain. Ketika bekerja kepada seorang majikan, ia dapat merasakan bagaimana kejamnya system kapitalis. Pekerja hanya dijadikan seperti budak murah yang harus bekerja setiap hari tanpa di ber hari libur. Penghasilannya pun tidak sesuai dengan hasil jerih payah yang ia lakukan. Dari pengalaman ini ia mendapatkan pelajaran penting bahwa bekerja di bawah kekuasaan pemodal, sesungguhnya tidak memakmurkan diri, tetapi ia memperkaya kekayaan si pemodal.

“kita memang butuh pekerjaan, tetapi bukan berarti kita membutuhkan pekerjaan dari orang lain. Kita mampu untuk bekerja sendiri, kita mampu dengan kemampuan kita sendiri, kita mampu dengan usaha kita sendiri. Lantas kenapa kita harus bekerja kepada orag lain yang menguntungkan mereka sedangkan kita hanya di beri sedikit keuntung saja” ujar dia di sela-sela waktu membuat cilok urat yang akan di jual.

Sesungguhnya ia merukan salah satu dari jutaan orang yang tidak pernah mendapatkan perhatian dari pemerintah Indonesia. Ia hanya mengenyam pendidikan sampai lulus Sekolah Dasar saja. Setelah lulus Sekolah Dasar ia tidak dapat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi karena terkendala oleh biaya. Kedua orang tuanya hanya bekerja sebagai buruh tani yang tidak memiliki penghasilan tetap. Pada waktu itu, Kedua orang tuanya tidak mampu membiayai sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) yang mahal harganya. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari pun mereka terkadang kesulitan, apa lagi jika harus menanggung biaya pendidikan yang mahal.

Rendahnya setatus pendidikan yang ia sandang tidak menyurutkan dia membangun kehidupan yang lebih layak. Menurutnya ada seribu cara untuk dapat hidup dan berkembang tanpa harus menjadi budak orang lain. Sekarang ia memiliki penghasilan sekitar RP.2.000.000,00 per bulan. Dan penghasilan itu pun sudah di kurangi dengan kebiasaan libur yang setiap minggu ia lakukan. Dalam satu bulan, biasanya ia hanya bekerja selama 20 hari saja, sedangka yang 10 hari ia gunakan untuk berlibur dan melakukan berbagai aktivitas social.

Penghasilannya setiap bulan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Bahkan ia mampu membantu kedua orang tuanya memenuhi berbagai kebutuhan dapur. Ia memiliki keinginan untuk membangun suatu usaha mandiri yang di jalankan oleh pemuda-pemuda sekitar yang masih menjadi pengangguran. Namun, karena dia sendiri pun masih terhambat oleh modal maka niat luhurnya terpaksa ia urungkan sampai ada kesempatan tiba. Ia berharap agar pemuda-pemuda Indonesia tidak selalu tergantung kepada lahan pekerjaan yang di sediakan pemerintah maupun perusahaan. Kita bisa mandiri, tanpa harus menggantungkan hidup kita di tangan orang lain.

Penulis adalah

Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MERAPI NAPAK TILAS GATOT KACA DI KAWAH DIENG

kenapa